Juli 2011

SEJARAH MANDOMAI


Pada zaman dahulu, sekitar abad ke-15 Mandomai dan pada umumnya Kalimantan Tengah masih tergolong tempat yang masih murni yaitu masih berupa hutan belantara dan belum tersentuh oleh para pendatang. Penduduk aslinya ialah Suku Dayak Ngaju yaitu suku Dayak yang mendiami sepanjang bantaran sungai Kapuas dan kepercayaan yang di anut pun masih kepercayaan  Kaharingan yang artinya "Kehidupan". Suku Dayak Ngaju pada zaman dahulu merupakan salah satu suku terkuat yang melakukan budaya "Kayau" atau budaya berburu kepala, disamping Dayak Iban di Kalbar, Dayak Ot, Dayak Kenyah dan Dayak lainnya.

Rumah tempat tinggal suku Dayak Ngaju pada zaman dahulu ialah Rumah Betang atau dalam bahasa Dayak Ngaju Kapuas disebut "Huma hai". Rekonstruksi rumah ini seperti rumah panggung pada umumnya yang mempunyai tiang rumah yang tinggi kira-kira berukuran 10 meter dan panjang rumah sekitar 100 meter. Maksud orang Dayak pada zaman dahulu mendirikan rumah tinggi ialah untuk menghindari dari bahaya seperti binatang buas, banjir dan budaya kayau. Rumah Betang biasanya di huni 20 bahkan sampai 100 kepala keluarga, tergantung dari ukuran rumah Betang tersebut.

Pada zaman dahulu sebelum kedatangan para pendatang, Mandomai dahulu bernama Desa Tacang Tangguhan, sebuah desa kecil yang pada kala itu hanya terdapat beberapa rumah Betang. Masyarakatnya pun kala itu masih tergolong premitif, menggunakan baju dari anyaman rotan, kulit kayu maupun kulit hewan. Kegiatan masyarakatnya masih tergolong sederhana seperti berburu, nelayan sungai dan bertani. Budaya kayau (berburu kepala) pada saat itu pun masih dipegang teguh selain upacara tiwah (upacara kematian suku Dayak Ngaju), tatto, tari - tarian dan banyak lagi lainnya. Pada umumya orang Dayak Ngaju zaman dulu mempunyai ciri fisik berkulit putih, bermata sipit, tubuh tegap, menggunakan celana "ewah" yaitu balutan/selembar kain yang di julurkan di depan yang berfungsi untuk menutupi daerah genital, menggunakan kalung dari taring binatang buas, hiasan kepala berupa ikat kepala maupaun dari anyaman rotan yang dihiasi dengan bulu burung, senjata tradisionalnya berupa mandau, tombak, sumpit dan perisai (telabang).

Seiring dengan perkembangan zaman dan mulai memudarnya budaya kayau sekitar abad ke-18 setelah Rapat Perjanjian Tumbang Anoi, para pendatang mulai banyak berdatangan dan bermukim bersama masyarakat pribumi Kalimantan Tengah. Umumnya para pendatang dari Suku Banjar, Suku Jawa dan orang-orang Kolonial Belanda yang umumnya sebagai penguasa pada kala itu. Menilik sejarah Kampung Mandomai, Mandomai sejak zaman Kolonial Belanda sudah terkenal akan keramaian pelabuhannya, dan aktifitas penduduknya, sehingga pada saat itu pihak Zending menjadikan Mandomai sebagai pusat penyebaran agama Kristen Protestan diseluruh Kalimantan Tengah. Selain itu Mandomai juga merupakan tempat awal mula penyebaran agama Islam kepada orang Dayak Ngaju didaerah bantaran sungai Kapuas, dimana agama Islam disebarkan oleh para ulama asal Banjarmasin dan ulama Muhammadiyah asal Yogyakarta. Jadi artinya Kampung Mandomai sejak dulu sebagai pusat penyebaran 2 agama di Kalimantan Tengah.
Dengan kedatangan para pendatang secara tidak langsung membawa perubahan pola hidup masyarakat suku Dayak Ngaju mulai dari kepercayaan sampai sosial budaya. Efek nyata budaya luar yang diterima oleh suku Dayak Ngaju adalah masuk dan berkembangnya agama Islam di Mandomai pada abad ke-18 dengan berdirinya Mesjid Jami Al-Ikhlas yang merupakan mesjid tertua di bantaran sungai Kapuas dan Mesjid Muhammadiyah di Mandomai Hulu. Kemudian didaerah Mandomai Hilir berdiri Gereja Immanuel yang dijadikan Zending sebagai pusat penyebaran agama Kristen Protestan kepada orang Dayak Ngaju dan termasuk salah satu gereja tertua di Kalimantan Tengah. Seiring dengan membaurnya penduduk lokal dengan para pendatang, suku Dayak pun sudah kehilangan budaya Betangnya dimana para generasi Dayak sudah mempunya rumah sendiri - sendiri untuk setiap kepala keluarga. 
Di zaman sekarang, Para generasi keturunan asal Kampung Mandomai banyak melahirkan orang-orang yang sangat berpengaruh di Provinsi Kalimantan tengah, termasuk para pejabat-pejabat provinsi Kalimantan Tengah dikota Palangkaraya banyak keturunan asal Mandomai.

Tokoh legenda yang paling terkenal di Mandomai ialah "Raden Inyui Amoi Gilang" dimana ia dipercaya sebagai pendiri kampung Mandomai. Ia adalah seorang lelaki Dayak Ngaju yang gagah perkasa, mempunyai kesaktian yang tinggi, ramah, sopan, berani yang karakternya menggambarkan ciri khas orang Dayak sang penakluk rimba. Tempat makam Raden Inyui terletak di Mandomai Hulu berupa Sandung (makam kepercayaan Kaharingan) dan kini namanya di jadikan nama sebuah jalan di Mandomai yang di kenal dengan jalan R.I.A Gilang. Kemudian di Mandomai hulu masih terdapat sisa Rumah Betang yang masih berpenghuni yang sekarang dijadikan salah satu cagar Budaya Dayak Kab.Kapuas yang masih tersisa. Terdapat juga Sandung Tahutun Pantar yg mana disandung tersebut bertuliskan tahun 1735 yang dapat dijadikan tolak ukur bahwa Kampung Mandomai termasuk kampung tua. Di Mandomai Hulu juga terdapat anak sungai Kapuas yang dianggap keramat oleh warga setempat yaitu Sungai Garantung, tetapi dengan seiring perkembangan zaman sungai tersebut sudah dianggap hal biasa bagi masyarakat setempat dan tidak begitu dianggap keramat lagi.

Mandomai bukanlah nama asli kampungnya, banyak versi mengenai nama Mandomai, ada yang mengatakan diberikan oleh orang - orang Banjar sebagai warga pendatang dimana Mandomai di ambil dari kata bahasa Dayak Ngaju " Mandui Mai " yang artinya " Ibu mandi " akibat orang - orang Banjar sering mendengar percakapan tersebut dari lisan orang Dayak, atas dasar itulah mereka memberi nama kampung Mandomai. Ada versi lain juga yang menyebutkan Mandomai diambil dari kata "Man = Aman" dan "Domai = Damai" apabila digabung Mandomai berarti Desa yang Aman Damai. Tapi banyak yang tidak mengetahui bahwa nama asli Mandomai  ialah Tacang Tangguhan.

Kini Mandomai  menjadi ibukota kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, berbatasan langsung dengan Kabupaten Pulang Pisau. Mandomai membawahi beberapa Desa yaitu Desa Saka Mangkahai, Anjir Kalampan, Tumbang Umap, Pantai, Penda Katapi, Saka Tamiang dan masih banyak lagi yang lain. Sampai sekarang Mandomai masih dijadikan sebagai pusat pendidikan bagi warga sekitar Kecamatan Kapuas Barat dan sepanjang arah bantaran sungai Kapuas. Tapi meski hanya sebuah kecamatan, Mandomai juga memiliki berbagai fasilitas seperti layanan kesehatan, jaringan internet, jaringan seluler, listrik dan lain sebagainya yang sudah tersedia sejak lama, dan akses jalan dari ibukota Kabupaten menuju Mandomai pun sangat mudah. Mayoritas kepercayaan yang dianut oleh penduduk Kecamatan Kapuas Barat atau Mandomai pada khususnya adalah agama Islam, diikuti Kristen Protestan, Katolik, dan Kaharingan (Kepercayaan nenek moyang suku Dayak). Suku mayoritas di Mandomai adalah Dayak Ngaju ( Kapuas-Kahayan), Dayak Bakumpai, Dayak Ma'anyan, Banjar, Suku Jawa dan lain-lain.

 Foto Dayak Ngaju tahun 1800an

 Foto Jembatan Muara Anjir Mandomai sekarang


 Foto Sandung Tahutun Pantar 1735 diMandomai Hulu sekarang


 Kelurahan Mandomai sekarang dari tepi sungai Kapuas


 Warga Mandomai tahun 1890


 Foto Mesjid Jami Al Ikhlas tahun 1903


 Foto Mandomai Tempo dulu


 Mandomai Tempo dulu


Lewu Lanting "Kuburan Kepercayaan Kaharingan" kearah Hilir dari Mandomai Hilir

Postingan Lebih Baru Postingan Lama

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Mengenai Saya

Foto saya
Nama saya Faisal Iswandi S Muis. Saya berasal dari Mandomai, Kab. Kapuas dan sekarang tinggal di Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah. Sewaktu SMA masih di Mandomai, alumni SMA Negeri 1 Kapuas Barat. Sekarang saya kuliah di Fakultas kedokteran/ jurusan dokter umum Universitas Diponegoro, Semarang.

Pengikut